Jutaan Rupiah dari Halaman

Kala hari merembang petang, semilir angin berembus memasuki kediaman Saman di Purikembangan, Jakarta Barat. Di ruang tamu, sambil berkain sarung, sang empunya rumah duduk bersantai. Di tangannya tergenggam lembaran rupiah hasil penjualan aglaonema hari itu. Senyum langsung terkembang waktu tombol kalkulator selesai ditekan. Dari penjualan selama 6 hari, pendapatan bersih Rp28-juta dikantongi.
Begitulah ritunitas kelahiran Agustus 1962 itu sejak setahun silam. Dari 400 pot induk pride of sumatera yang disusun rapi di rak di dak rumah seluas 3,5 m x 8 m, setiap 2 bulan ia menuai 1.500-2.000 helai daun anakan. Dengan harga jual Rp12.500 per lembar, Saman memperoleh keuntungan Rp16-juta.
Pundi-pundi Saman kian menggelembung lantaran ia masih memiliki 500 induk donna carmen. Ratu daun berwarna merah yang namanya diambil dari pemilik kedai makanan di Brazil itu diletakkan di bawah rak euphorbia dan adenium di halaman rumah. Setiap 2 bulan, 400 anakan dipisahkan dari pohon induk. Sepuluh hari kemudian anakan terdiri atas 4-5 daun siap dijual dengan harga Rp15.000 per pot. Setelah dikurangi tetekbengek biaya perawatan, ada tambahan laba Rp12-juta masuk koceknya.
Jumlah yang cukup besar lantaran cuma diusahakan di lahan seluas total 40 m2. Apalagi perawatan relatif minim lantaran sri rejeki tidak rewel. Pantas pria tak berkumis itu berujar, "Mengusahakan aglaonema memang enak. Untungnya besar, perawatan gampang, dan bisa diusahakan di lahan sempit."
 
Aglaonema Donna Carmen

Primadona
Yang juga menangguk laba dari wan nien ching-sebutan di Cina-adalah Solari-sebut saja begitu namanya. Selama kurun 2004, ayah Fikri dan Fauzi itu menjual 1.500 lembar aglaonema berbagai jenis. Donna carmen, pride of sumatera, adelia, chiang may, dan lipstick. Dengan harga terendah Rp10.000 per lembar daun, omzet kelahiran Cilimus, Kuningan, 46 tahun silam itu Rp15-juta per bulan. Padahal nilai jual adelia dan chiang may lebih dari itu.
Nun di Jekulo, Kudus, setiap bulan dompet Nur Ali Mas'hudi dipenuhi lembaran rupiah senilai Rp18,750-juta dari penjualan 500 pot sitiporn dan white snow. Itu aglaonema klasik berwarna hijau yang muncul sebelum generasi pride of sumatera. Rinciannya, harga selembar daun Rp7.500. Masing-masing pot terdiri atas 5 lembar. Sementara permintaan pride of sumatera dan adelia belum terlayani.
Aglaonema kini memang tengah menjadi primadona. Banyak pekebun menuai untung dari perniagaan tanaman pembawa rejeki itu. Pantas bila banyak pemain "baru" tertarik menggeluti. Sebut saja Widayanto di Pondokgede, Bekasi. Enam bulan silam pria berperawakan sedang itu getol mengumpulkan pride of sumatera dari para pekebun di seputaran Karangtengah, Jakarta Barat.
Berbekal pengalaman dan relasi sebagai penganggrek, dengan mudah chinese evergreen itu dipasarkan. Mula-mula volume penjualan 300 pot per bulan masing-masing berisi 4 lembar daun. Sekarang 300 pot per minggu. Dengan omzet Rp72-juta per bulan, pemilik Ayuning Puspa Indonesia itu mengutip keuntungan 20%.

Aglaonema Adelia

Lansekap
Nurseri aglaonema pun bermunculan di berbagai daerah. Di Semarang ada Yopie Joko Pramono yang menyediakan white milk, sitiporn, pride of sumatera, dan donna carmen. Di Surabaya, hobiis dan pedagang datang ke nurseri milik Dwi Isbiantoro untuk mendapatkan pride of sumatera.
Itu baru sri rejeki "murah" . Untuk kelas eksklusif, ada Tirto Gunawan di Jakarta Barat yang "menyimpan" tiara-juara Flona 2004. Wiwi -sapaan akrabnya-comeback bermain aglaonema setelah vakum 2 tahun. Dari 20 pot tiara yang dimiliki, 16 pot sudah laris manis. Di kebun di halaman dalam rumahnya, ayah 2 anak itu masih menyetok juwita, lady valentine, dan dud unyamanee. Nama-nama lain, misalnya Gunawan Widjaja di Sentul, Bogor; Frans Wiratmahusada, Semarang; dan Etty Arsih di Surabaya.
Bukan tanpa alasan bila anggota famili Araceae itu naik daun. "Aglaonema mudah
dirawat dan sebagai tanaman indoor paling pas," kata Gunawan Widjaja dari Widjaja Orchids. Sang ratu daun memang tidak rewel. Tahan disimpan di dalam ruangan selama 1 minggu tanpa dikeluarkan. Lagipula dengan motif indah, ia enak dipandang meski tanpa bunga.

Harga yang semakin terjangkau membuat pemanfaatan aglaonema semakin meluas. Sekadar contoh, pada kurun 1990-an selembar pride of sumatera dibandrol Rp350.000. Ia hanya dimiliki oleh para kolektor berkocek tebal. Kini dengan harga Rp12.500 per lembar, hasil silangan Aglaonema rotundum dan A. commutatum itu digunakan sebagai elemen taman. Kasus serupa terjadi pada donna carmen.
M Noer, landscaper di Jakarta, kini tengah sibuk menggarap order pembuatan taman eksklusif di kawasan Pondokindah, Jakarta Selatan, dengan 500 donna carmen. Di Semarang, Tatir Sudarman mesti bergerilya mencari chiang may dan white milk hingga ke Bogor. Maklum "Untuk masing-masing jenis itu kebutuhannya 100-200 pot untuk 1 taman," tutur pemilik Duren Ijo Nurseri itu. Sebagai pemanis, ditampilkan donna carmen dengan aksen merah di daun.
Aglaonema disukai sebagai elemen taman teduh lantaran memiliki kombinasi motif daun menarik. Chiang may yang hijau berbercak putih menyebar di seluruh permukaan daun, cantik diletakkan di dekat tembok berwarna gelap. Selain itu, pertumbuhan tanaman cukup bandel dan tak perlu rutin dipangkas.
 
Aglaonema Pride of Sumatra
Meluas
Publikasi di berbagai media dan pameran menyebabkan hobiis bermunculan di berbagai daerah. Sebut saja Hari Setiawan dan Puguh di Jakarta, Heri Gembong, Husny Bahasuan dan Nike Sulistyowati di Surabaya, serta Sari Mawar di Bontang. Otomatis pasar pun ikut meluas.
Nur Ali Mas'hudi "menguasai" pasar di seputar Jawa Tengah, seperti Pati, Blora, dan Rembang. Di Semarang, Yopie Joko Pramono melayani pembeli hingga ke Cilacap, Banjarnegara, Yogyakarta, dan Solo. Saat Trubus berkunjung ke kediaman Leman, kolektor di Jakarta Utara, seorang perempuan asal Medan rela terbang ke ibukota hanya untuk membeli sang ratu daun.
Kehadiran silangan-silangan teranyar dengan corak menawan pun ikut mendongkrak popularitas aglaonema. Sebut saja tiara dengan motif seperti batik dengan tulang daun merah atau juwita yang merah berdaun sempit. Semua silangan Gregori Hambali-satu-satunya penyilang aglaonema aktif di Indonesia.
Si daun cantik itu kian dicari setelah jenis-jenis bernuansa merah dari Thailand membanjiri tanah air 2 tahun silam. Dari negeri Siam itu ada fancy rose yang di sini dikenal sebagai ruby, tipe-tipe lipstik bertepi merah, manee maha cok dan super red berwarna merah menyala, green fire bercorak hijau dengan semburat merah terang di tengah, atau dud unyamanee, si permata dari Bangkok. Itu belum termasuk jenis lain dengan penampilan tak kalah menarik yang datang tanpa nama.
Kehadiran varian-varian baru itu bak lokomotif penarik tren aglaonema. Pantas para importir pun kian getol mendatangkan siamese rainbow-sebutan untuk si daun cantik dari Thailand. Maklum sampai kini negara Gajah Putih itu satu-satunya gudang jenis-jenis teranyar-selain hasil tangkaran Gregori Hambali. Di sana jumlah penyilang, penangkar, dan nurseri pembesar mencapai puluhan orang. Pantas hampir setiap bulan ada aglaonema baru dirilis ke pasar. (baca: Thailand Raja Aglaonema halaman 24)

Investasi
Lantaran masih gres, harga lucky plant baru mahal. Tiara dilepas Rp30-juta-Rp35-juta. Seorang kolektor di Jakarta Utara merogoh kocek hingga ratusan juta rupiah untuk mendapatkan 10 pohon dud unyamanee. Pada penghujung 2004 sebuah nurseri di Semarang menghabiskan Rp350-juta untuk membeli puluhan siamese rainbow teranyar. Waktu Trubus berkunjung ke kebunnya awal Januari terlihat jenis-jenis berwarna merah, pink, hingga oranye.
Toh, harga setinggi langit itu tak membuat gentar pembeli. Dalam 1 minggu 2.000 pot lady valentine impor di Bogor ludes tak bersisa. Padahal aglaonema bernuansa pink itu dibandrol Rp300.000 terdiri atas 3 helai daun. Sri rejeki anyar, di Semarang pun cuma mampir sebentar. Maklum buat para kolektor, "Memiliki aglaonema merah jenis-jenis terbaru menjadi kebanggaan," tutur Yopie Joko Pramono.
Memiliki aglaonema mahal juga investasi menguntungkan buat para pekebun. Suhandono misalnya membeli 1 anakan tiara seharga Rp5-juta pada September 2004. Satu setengah bulan kemudian muncul anakan berdaun 2 helai yang langsung dibeli seorang pedagang di Jakarta Rp1,5-juta. Dua bulan kemudian muncul lagi 4 anakan.
Dari penjualan 4 anakan itu Suhandono mendapat tambahan pendapatan Rp1,5-juta. Itu artinya, dalam 4 bulan modal pemilik Kusuma Floracipta itu hampir kembali. Padahal setiap 2 bulan muncul anakan baru.

Batu sandungan
Hasil lacakan Trubus menunjukkan, kini banyak nurseri mengharap peruntungan dari tiara dan lady valentine. "Tiara memiliki kelebihan dibanding aglaonema Thailand," ujar Wiwi. Penampilan aglaonema yang namanya diambil dari putri seorang rekan Gregori Hambali itu cantik saat tampil tunggal maupun kelompok. Bagian belakang daun berwarna merah, tidak kalah dengan permukaan atas yang penuh bercak. Jenis-jenis asal Thailand biasanya berbatang pucat. Lagipula tiara rajin beranak-pinak. Sementara lady valentine jadi pilihan lantaran selain berwarna cantik, ia diproduksi secara meriklon di Thailand. Jadi semua anakan berpenampilan seragam dan prima. Dengan modal Rp200.000 per tanaman, importir bisa menangguk laba 50%.
Toh, meski terkesan menggiurkan bukan berarti bisnis aglaonema tanpa batu sandungan. Saman sempat kesulitan memasarkan 800 anakan pertama pride of sumatera pada Februari 2004. Pucuk dicinta ulam pun tiba. Saat menghadiri sebuah acara pernikahan tanpa sengaja ia bertemu dengan Haji Amsar. Pria itu pedagang besar tanaman hias di Tangerang. Dengan harga kesepakatan Rp50.000 per pot, seluruh anakan ludes. Memiliki jaringan pada pedagang dan pemain tanaman hias lain memang kunci sukses memasarkan.

Panjang
Busuk di akar dan batang akibat serangan cendawan jadi batu sandungan lain. Gunawan Widjaja mesti merelakan US$3.000 setara Rp30-juta melayang. Itu nilai sepot greenfire yang mati akibat akar membusuk lantaran tanaman terlalu rajin disiram. Kehilangan rupiah lantaran tanaman mati terserang cendawan juga dialami Wiwi dan Yopie.
Salah memilih jenis pun menuai masalah. Suatu kali Suhandono membeli aglaonema daun hijau bergaris merah dari Thailand. Meski harus merogoh kocek Rp9-juta, ia nekad mengambil lantaran tanaman berpenampilan cantik sehingga bakal digemari hobiis tanah air. Ayah 4 anak itu pun menghitung laba yang bakal ditangguk dari anakan-anakan yang muncul setiap 2 bulan.
Apa lacur, tidak lama berselang jenis yang sama masuk ke tanah air dalam jumlah banyak lantaran sudah diproduksi massal. Kejadian itu berulang hingga beberapa kali hingga pasar lokal dibanjiri si hijau bergaris merah. "Saya ngga tahu kalau jenis itu sudah diperbanyak massal di sana. Produksi anakan di sini ngga akan nguber," keluhnya. Niat menebalkan kantong pun pupus sudah.
Namun, bila kerikil-kerikil tajam itu bisa diatasi, rencengan rupiah bakalan mengalir ke pundi-pundi pekebun dan pedagang. Para pemain baru pun tak perlu gentar masuk. Para pioner sepakat tren aglaonema bakal berumur panjang. Pasar produk massal seperti pride of sumatera, donna carmen, dan jenis-jenis hijau terus meluas. Di kelas itu terbuka peluang untuk merentalkan tanaman. Itu yang dilakukan Dwi Isbiantoro dan Etty Arsih. Dwi melayani penyewaan aglaonema untuk dekorasi acara rapat. Sementara Etty yang perias pengantin memanfaatkan sri rejeki untuk lansekap pelaminan. Di berbagai daerah para landscaper pun antre menunggu pasokan.
Di kelas eksklusif, varietas-varietas baru terus bermunculan sehingga kolektor tak bakalan jenuh. Dari jenis-jenis anyar itu rupiah diraup saat anakan bermunculan. Seperti kata Saman, "Usaha perbanyakan aglaonema ibarat memelihara ayam petelur. Induknya tetap, telurnya menggelinding setiap hari." Dari 1 induk aglaonema, 2 bulan pertama didapat 1 anakan. Periode berikutnya tak hanya 1, tapi 2, 3, 4, bahkan lebih anakan. Dari setiap helai daun baru itulah lembaran-lembaran rupiah bersumber. 

Sumber: Majalah Trubus
(Evy Syariefa/Peliput: Karjono, Pupu Mar'fuah, dan Syah Angkasa)

No comments:

Post a Comment

Silakan tinggalkan komentar, saran dan masukan jika anda tertarik dengan artikel di website Aglaonema Batik Indonesia